Andre Surya Mendirikan Sekolah Untuk Pecandu Imajinasi

Arikel Geotimes

“Saya masih ingat jelas saat kucing-kucingan tengah malam dengan orang tua demi bermain video game,” kata Andre mengawali cerita saat ditemui di kawasan apartemen Mediterania Garden Residence, Jakarta Barat.

Semua berawal dari hobi. Itu adalah cikal bakal keberhasilan karier Andre. Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama waktu Andre sangat tersita duduk lama di depan layar monitor menikmati permainan video game berteknologi rekayasa tiga dimensi atau sekarang lebih dikenal 3D.

“Andre, nanti kamu mau jadi apa, nge-game gak kenal waktu?” Kata-kata itulah yang selalu diucapkan kedua orang tuanya dengan nada sedikit marah.

Tak heran Andre kecil kucing-kucingan bermain sambil belajar komputer grafis 3D animasi dalam permainan tersebut. Andre rela menunggu tengah malam setelah orang tuanya tertidur.

Pemuda yang mengaku hobi bermain game sejak kanak-kanak hingga kini menghabiskan hidup di kawasan Jelembar, Jakarta Barat. Lalu karier membawa Andre ke Singapura selama empat tahun. Sejak 18 bulan lalu ia memilih pulang kampung.

Pemuda dengan nama lengkap Andre Surya ini lahir di Jakarta 31 tahun yang lalu, tepatnya 1 Oktober 1984. Ia adalah pemuda Indonesia pertama yang menjadi bagian dari tim digital artist perusahaan efek visual komputer tiga dimensi, Industrial Light and Magic (ILM) Lucasfilm Amerika cabang Singapura.

Awalnya setelah lulus pendidikan ia melamar di Lucasfilm US. Namun Andre terkendala pengurusan Visa. Lalu ia ditransfer Lucasfilm US ke Singapura. Ada beberapa orang Indonesia yang bekerja di Lucasfilm Singapura, terutama di bidang IT, games, dan TV series.

“Namun, saya adalah satu-satunya artist bagian visual effects untuk feature film (ILM) asal Indonesia,” ungkap Andre.

Untuk bergabung di Lucasfilm, Andre membutuhkan waktu sekitar enam bulan. Awal cerita ia diwawancarai di Ottawa, Kanada.

Lalu dilanjutkan wawancara dengan menggunakan telepon oleh Lucasfilm Singapura. Setelah wawancara kedua Andre dinyatakan diterima sebagai Digital Artist.

Andre menjelaskan proses kerja digital artist. Misalnya lighting adalah proses kreatif agar 3D yang diproduksi menarik dan menyatu dengan background aslinya dalam jangkauan posisi cahaya. Sedangkan compositing adalah proses penyatuan semua elemen yang ada.

Di dalam sebuah film, rata-rata ada lebih dari 70 orang digital artist, terutama bila film itu berskala besar, seperti Iron Man 2.

“Iron Man terbang adalah karya saya pertama kali,” tuturnya tersenyum.

Ketika bergabung dengan Lucasfilm, ia banyak terlibat proyek-proyek besar Hollywood. Seperti Iron Man, Terminator Salvation, dan juga Star Trek. Ia sempat mencicipi pendidikan di Kanada selepas lulus SMA pada 2004.

“Sebelum melamar ke Lucasfilm di Amerika, saya studi di Kanada,” katanya.

Saat ini Andre menemukan jawaban dari hobi yang selama ini ia nikmati di bidang Digital Art.

Hasil racikan tangan Andre seperti pertarungan robot-robot raksasa yang bisa berubah bentuk menjadi mobil dan memporak-porandakan Amerika Serikat digemari jutaan orang di seluruh dunia.

Buktinya “Transformer: Revenge of the Fallen” di tahun 2009 arahan sutradara Michael Bay sukses meraup pendapatan USD 836 juta di seluruh dunia.

Produk Hollywood, sebagai raksasa perfilman dunia, meraih untung besar tentu sudah lazim. Namun, tidak banyak yang tahu ketika muncul kredit di akhir film itu, tersemat nama seorang warga Indonesia yang sentuhannya membuat robot-robot itu hidup di layar lebar.

Berbincang dengan Andre tidak lepas dari dunia animasi rekayasa visual tiga dimensi dan Digital Art. Saat memutuskan kembali pulang ke Indonesia, ia bersama dua sahabatnya mendirikan perusahaan bernama Enspire Studio dan Enspire School of Digital Art (ESDA) atau www.esda.co.id. Visinya itu menjadi wadah pelatihan efektif dan kreatif dalam kemampuan Digital Art.

Dalam kurun waktu lima tahun Andre dan Bobby telah menghasilkan bermacam project dalam industri Entertainmen. “Saat ini kita sedang menyelesaikan project dari Dubai,” katanya.

Ada satu impian Andre yang belum tercapai. Andre ingin membuat Feature Film sendiri dengan mengangkat tema kebudayaan Indonesia.

Itu adalah salah satu alasan mengapa ia keluar dari zona nyaman, berani mengambil resiko dan membangun sebuah perusahaan animasi, dan melahirkan Enspire Studio.

Step by step. Setelah perusahaan stabil kita akan wujudkan mimpi menggarap film berkualitas. Kita coba durasi terkecil dan meningkat sampai durasi 90 menit.”

Dia juga mengaku bermimpi bisa mengikuti jejak George Lucas, tokoh panutannya, mengembangkan Industri hiburan di Indonesia yang tidak hanya terkonsentrasi pada animasi.

“Saya yakin Enspire tidak Cuma di bidang animasi saja, tapi akan lahir Enspire music, Enspire Sound, jadi entertainment industri lah,” katanya.

Dalam perjalanan mewujudkan impiannya, Andre menemui banyak hambatan. Terutama sangat sedikit jumlah Digital Artist dan animator di Indonesia.

Kebanyakan Digital Artist dari Indonesia setelah lulus pendidikan memilih bekerja di luar negeri karena penghasilannya lebih besar.

“Lulusan sekolah desain dalam negeri pun memilih berkarier di luar Indonesia. Ya karena godaan penghasilan yang besar,” ungkap Andre.

Melihat kenyataan seperti itu, muncul ide untuk membangun sekolah animasi dengan standar internasional. Perusahaan ini telah berjalan hampir dua tahun, tepatnya Februari 2013 lalu.

Perjalannan baru dimulai. Melalui ESDA ia mendedikasikan ilmunya untuk menyediakan pelatihan yang efektif untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan teknik digital artist.

Standar tinggi yang diterapkan sudah diakui secara luas oleh pelaku industri Digital Art. Sehingga lulusannya memiliki peluang besar untuk bekerja dalam industri entertainmen baik dalam maupun luar negeri.

Tujuan utama ESDA adalah membangun seorang menjadi Digital Artist profesional, dengan instruktur dan mentor yang berdedikasi didukung kombinasi kurikulum e-learning yang dirancang secara khusus.

Tidak hanya itu, untuk program sosial Andre juga membuka kelas bagi anak-anak jalanan yang tidak kenal dengan animasi dalam permainan game 3D.

Ia membuka kelas setiap hari. Tak heran siswa yang tidak bisa apa-apa menjadi kenal dan ahli menggunakan perangkat software Digital Artist, proses pembuatan gambar 3D.

“Saya dulu baru belajar hanya bisa buat bola 3D. Sekarang mereka sudah ada yang bisa buat motor sejenis Harly Davidson, bayangkan?” cerita Andre tentang salah seorang muridnya.

Nanti setelah si murid melalui proses belajar sampai tingkat atas mahir, perusahaan akan menawarkan untuk magang dan bekerja di Enspire Studio.

Contohnya, Reno Marc salah satu siswa di ESDA sudah hampir satu setengah tahun bergabung di ESDA. Awalnya Reno memiliki kecanduan yang sama dengan Andre, tidak bisa lepas dari permainan video game.

Reno salah satu siswa di ESDA, kecanduan game dan pendidikan formalnya hampir terbangkalai. Ia mempelajari 3D Modeling yang memiliki tiga tingkatan.

Pertama mempelajari 3ds Max Interface & Modifier, Basic 3d Modeling, Shader, Lighting dan render knowledge, Room Interior modeling complete with textture and lighting .

Sebelum kelas dimulai, siswa diharuskan bermain video game dulu kurang lebih selama tiga jam. Setelah itu diberikan pengarahan seputar industri Digital Art dan teknik pengeditan. “Untuk memunculkan ide dan imajinasi diharuskan bermain video game dulu, minimal tiga jam,” kata Andre.

Saat diwawancarai terpisah, Reno mengaku senang belajar di ESDA. Semata karena berawal dari hobi dan ketertarikan belajar di Industri Digital Art. Senang dengan bimbingan mentor yang profesional, “Kelasnya santai mas, tidak seperti suasana kelas sekolahan,” ungkapnya.

Sekarang Reno sudah bisa menghasilkan karya sendiri dalam bentuk animasi 3D. Hal ini disambut baik orang tua Reno yang sebelumnya tidak tahu apa yang harus dilakukan saat ia kecanduan bermain game. “Sekarang kamu sudah mendapat jawaban,” ucap Reno menirukan tanggapan orang tuanya.

Menyelesaikan pendidikan formal juga hal terpenting untuk menunjang bakat di bidang animasi ini. “Karena itu saya harus tetap menyelesaikan pendidikan. Semenjak itu saya sadar dan tidak lagi bermain game terlalu lama,” kata Reno.

Sekarang Reno lebih banyak berkarya di bidangnya sendiri. “Saat ini ia juga magang di Empire Studio. Setiap siswa yang berpotensi dan memiliki kemampuan akan diajak bergabung.

Bagi Andre tidak ada hal buruk menjadi seniman digital. Itu berdasarkan pengalamannya. Ia mengaku beruntung karena ditempa standar kerja Hollywood yang sangat keras dan teliti. Dia mengingat para animator maupun pakar rekayasa 3D di LucasFilm sangat perfeksionis dalam bekerja. Pengalaman itu belum tentu didapatkan jika dia hanya berkarier di dalam negeri.

Saat duduk di bangku kuliah dulu, ia kadang-kadang mengkhayal bagaimana rasanya mengerjakan visual effects untuk sebuah film besar dan melihat ada namanya muncul di credit title film tersebut. “Ternyata hal itu benar terwujud. Ini tentu tidak terlepas dari hobi dan kegemaran dengan 3D,” kata Andre. [*]

Sumber: Geotimes (http://geotimes.co.id/andre-surya-bangun-sekolah-bagi-para-pecandu-imajinasi/#gs.xvwVMVE)

×